Di Balik Senyum yang Tak Pernah Terungkap
![]() |
Okti, gadis ceria dengan suara khas yang selalu riang. Dia adalah bintang kelas, juara debat, dan pemimpin paduan suara. Rambutnya yang panjang selalu dikepang rapi, dan senyumnya bisa membuat siapa pun merasa hangat. Gifa selalu terpesona setiap kali Okti lewat di depannya, tapi dia tak pernah punya keberanian untuk menyapanya.
Lalu ada Riza, sahabat Gifa sejak kecil. Riza adalah kebalikan dari Gifa. Dia percaya diri, supel, dan selalu jadi pusat perhatian. Riza tahu segalanya tentang Gifa, kecuali satu hal: perasaan Gifa pada Okti.
Hari itu, seperti biasa, Gifa duduk di bangku belakang, mencoba fokus pada pelajaran matematika. Tapi, pandangannya selalu tertuju ke arah Okti yang sedang asyik bercanda dengan teman-temannya di depan. Gifa menghela napas pelan. "Kapan ya, aku bisa ngobrol sama dia?" gumamnya dalam hati.
Riza, yang duduk di sebelahnya, menepuk pundak Gifa. "Hey, kamu melamun lagi? Ini pelajaran penting, lho!" ujar Riza sambil tersenyum.
Gifa hanya mengangguk. "Iya, sorry. Aku cuma... lagi mikir sesuatu."
Riza mengangkat alis. "Mikir apa? Jangan-jangan kamu lagi mikirin cewek ya?" Riza tertawa kecil, tapi Gifa langsung memerah. "Nggak lah, masa sih?" bantahnya cepat.
Riza mengedipkan mata. "Ah, kamu ini gampang banget ketahuan. Siapa nih? Ayo, cerita sama aku!"
Gifa menggeleng. "Nggak ada kok. Jangan ngaco."
Riza menghela napas. "Yaudah deh, kalau nggak mau cerita. Tapi ingat, aku selalu ada buat kamu, ya."
Gifa tersenyum tipis. Dia bersyukur punya sahabat seperti Riza. Tapi, dia tak pernah menyangka bahwa persahabatan mereka akan diuji oleh satu hal yang tak pernah dia duga.
Suatu sore, sepulang sekolah, Gifa melihat Okti dan Riza sedang berbicara serius di taman sekolah. Hatinya berdebar. Apa yang mereka bicarakan? Gifa mencoba mendekat, tapi tiba-tiba Riza menepuk pundak Okti dan tertawa lepas. Okti pun tersenyum, wajahnya bersinar.
Gifa merasa dadanya sesak. Dia tak pernah melihat Okti tersenyum seperti itu. Apakah ada sesuatu di antara mereka? Tapi, Gifa mencoba menepis pikiran itu. "Ah, masa sih? Riza kan sahabatku. Dia pasti cuma ngobrol biasa," bisiknya pada diri sendiri.
Tapi, hari-hari berikutnya, Gifa semakin sering melihat Okti dan Riza bersama. Mereka terlihat akrab, bahkan lebih dari sekadar teman. Gifa mulai curiga, tapi dia tak punya keberanian untuk bertanya.
Suatu hari, Gifa memutuskan untuk memberanikan diri. Dia akan mengungkapkan perasaannya pada Okti. Dia sudah menyiapkan surat kecil yang berisi kata-kata tulus dari hatinya. Tapi, sebelum dia sempat memberikan surat itu, Riza mendatanginya dengan wajah berseri-seri.
"Gif, aku ada kabar baik!" seru Riza.
Gifa menatapnya bingung. "Apa?"
Riza tersenyum lebar. "Aku dan Okti... kita pacaran!"
Gifa merasa dunia seakan berhenti berputar. Dia mencoba tersenyum, tapi rasanya seperti dipaksa. "Oh... selamat ya," ujarnya pelan.
Riza tak menyadari perubahan ekspresi Gifa. "Makasih, Gif! Aku seneng banget. Kamu tahu nggak, ternyata Okti juga suka sama aku dari dulu. Kita baru aja memutuskan buat jadian kemarin."
Gifa mengangguk, tapi hatinya hancur. Dia tak pernah menyangka bahwa sahabatnya sendiri akan mengambil hati orang yang dia sukai. Apalagi, Riza bahkan tak tahu bahwa Gifa punya perasaan pada Okti.
Malam itu, Gifa menangis di kamarnya. Dia merasa bodoh, pengecut, dan tak berharga. Kenapa dia tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya? Kenapa dia harus menyembunyikan semuanya? Dan yang paling menyakitkan, kenapa Riza, sahabatnya sendiri, bisa dengan mudahnya mendapatkan hati Okti?
Keesokan harinya, Gifa memutuskan untuk menjauh dari Riza dan Okti. Dia tak sanggup melihat mereka bersama. Setiap kali Riza mencoba mengajaknya ngobrol, Gifa selalu menghindar. Okti pun mulai curiga, tapi Gifa tak pernah menjelaskan.
Beberapa minggu kemudian, Riza akhirnya menyadari bahwa ada yang salah dengan Gifa. Dia mendekati Gifa di taman sekolah, saat Gifa sedang sendirian.
"Gif, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menjauhiku? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?" tanya Riza dengan wajah penuh penyesalan.
Gifa menatap Riza, matanya berkaca-kaca. "Kamu nggak salah, Riz. Aku cuma... butuh waktu sendiri."
Riza menghela napas. "Aku nggak mau kehilangan kamu, Gif. Kamu sahabat terbaikku. Apa pun yang terjadi, aku selalu ada buat kamu."
Gifa tersenyum getir. "Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Riz. Tapi... ada sesuatu yang harus aku akui."
Riza menatapnya penuh perhatian. "Apa itu?"
Gifa menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku suka sama Okti. Dari dulu."
Riza terdiam. Wajahnya berubah pucat. "Apa? Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?"
Gifa menggeleng. "Aku takut, Riz. Aku nggak percaya diri. Dan sekarang... kamu dan Okti sudah bersama. Aku nggak mau merusak hubungan kalian."
Riza menunduk, wajahnya penuh penyesalan. "Gif, aku nggak tahu. Kalau aku tahu, aku pasti nggak akan..."
Gifa memotongnya. "Sudah, Riz. Ini bukan salahmu. Ini salahku. Aku yang nggak pernah punya keberanian."
Riza menarik napas. "Aku nggak mau kehilangan kamu, Gif. Apa kita bisa tetap berteman?"
Gifa tersenyum tipis. "Tentu saja. Kamu tetap sahabatku, Riz. Tapi... aku butuh waktu untuk move on."
Riza mengangguk. "Aku mengerti. Aku selalu ada buat kamu, Gif."
Beberapa bulan kemudian, Gifa mulai bisa menerima kenyataan. Dia belajar untuk move on dan fokus pada dirinya sendiri. Riza dan Okti tetap bersama, tapi mereka berusaha untuk tidak menyakiti perasaan Gifa.
Di hari terakhir sekolah, Gifa menulis sebuah pesan di buku catatannya: "Terkadang, cinta bukan tentang memiliki. Tapi tentang belajar melepaskan dan tetap tersenyum, meski hati ini hancur."*
Gifa menutup buku catatannya, lalu melangkah keluar dari kelas dengan senyum kecil. Dia tahu, hidup harus terus berjalan. Dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan seseorang yang benar-benar untuknya.
Posting Komentar untuk "Di Balik Senyum yang Tak Pernah Terungkap"
Posting Komentar